Sudah lama ku abdikan diri dalam dunia pendidikan khususnya mengajar kimia untuk sekolah menengah atas. Ku sangat menikmati menjadi seorang guru, bahkan tak ada niat untuk alih profesi.
Suatu hari di dalam waktu senggang, kuasik membolak balik halaman facebook dan hati ini tergelitik untuk membaca sebuah artikel yang berjudul,"Angga Tidak Bodoh" yang ditulis I Gusti Rahayu di media online Republika. Artikel ini diposkan di group Ikatan Guru Indonesia. Artikel ini menceritakan seorang pengajar muda yang bertugas di sebuah SD negeri di daerah Sambas, Kalimantan Barat. Pengajar muda tersebut ulet dan gigih mengajar seorang siswa yang telah dicap guru dan teman-temannya sebagai anak yang bodoh karena kesulitannya dalam membaca dan menulis. Keuletan dan kegigihan pengajar tersebut membuahkan hasil yaitu siswa tersebut bisa menulis dan membaca. Selain itu, siswa tersebut mengalami peningkatan kepercayaan diri karena ia telah diterima lingkungannya. Hmm... salut kuucapkan pada pengajar tersebut.
Setelah membaca artikel tersebut, tiba-tiba ada suatu perasaan kerinduansemasa menjadi mahasiswi pendidikan. Semasa kuliah, bersama teman-teman seangkatan pernah memberikan pengajaran gratis untuk sebuah yayasan yatim piatu selama beberapa bulan. Ada kepuasan batin yang tidak bisa digantikan dengan uang yang menyisakan ruang kerinduan untuk tetap beraktivitas di dalam kegiatan tersebut. Setelah menyelesaikan masa perkuliahan, saya mengatakan ingin sekali mengajar di daerah pedalaman seperti kepulauan Seribu.
Seandainya program."Indonesia Mengajar" sudah didirikan (didirikan pada tahun 2009) pada tahun kelulusan tentu saja ku ikut mendaftar. Secuil idealisme sebagai pendidik pun menguap begitu saja bertukar dengan mengejar tuntutan ekonomi dengan mengajar di sekolah yang bagus dengan gaji yang bagus pula.
Kerinduan itu semakin menguat ketika ku baca artikel-artikel mengenai pengalaman mengajar orang-orang yang mengajar di daerah pedalaman. Petualangan dan perjuangan mereka dalam mencapai lokasi sekolah yang letaknya sangat sangat jauh dari daerah perkotaan serta fasilitas pendidikan yang terbatas. Aura petualangan dan perjuangan mereka mulai memasuki ruang-ruang idealisme yang telah lama kutinggalkan. Kubayangkan bagaimana mereka memutar otak mengatasi keterbatasan-keterbatasan yang dihadapi ketika mengajar di sekolah pedalaman. Kubayangkan bagaimana perjuangan mereka menembus daerah-daerah yang penuh tantangan tersebut. Ku teriak dalam hati,"Aaaaa..... Ku ingin mengalami sensasi itu, kuingin mengalami petualangan itu, ku ingin terlibat dalam perjuangan mendidik anak-anak yang tinggal di daerah pedalaman."
Secuil kerinduan idealisme itu merasukiku lagi..
Secuil kerinduan idealisme itu membuat syaraf-syarafku meronta...
Akankah tergapai??
Akankah menjadi bagian pengalaman dalam episode hidupku??
Tanpa harus khawatir memikirkan tuntutan ekonomi ataupun tuntutan lainnya.
Akankah tergapai ??
Tangerang, 23.18- 19042014
Ketika kerinduan itu bergejolak
No comments :
Post a Comment